Kamis, 28 Juli 2016
Senin, 25 Juli 2016
Kamis, 21 Juli 2016
Sejarah GPI dan Pendirinya
SEAPIN MEMBAWA KEHARUMAN UNTUK KOTA MAJALENGKA
Majalengka adalah sebuah kota kecil yang terletak di wilayah bekas Karesidenan Cirebon, Jawa Barat. Walaupun merupakan ibu kota kabupaten, Majalengka adalah sebuah kota sepi yang tidak banyak menarik perhatian orang. Penulis tahun 1973 bermaksud belajar di Sekolah Alkitab di Majalengka dan agak kesulitan sebab kota ini tidak dilalui oleh bus jurusan Solo–Bandung. Untuk mencapai kota tersebut kita harus turun di Kadipaten dan melanjutkan dengan angkutan pedesaan menuju Majalengka.
Kota Majalengka yang sepi, sunyi dan berpenduduk mayoritas (+ 99%) beragama Islam tersebut kini cukup dikenal di berbagai kota di Indonesia bahkan di beberapa negara, khususnya dilingkungan umat Kristen. Terdengar aneh mungkin, kota yang berpenduduk 99% beragama Islam yang cukup fanatik ini justru dikenal di kalangan umat Kristen. Hal itu tidak terlepas dengan keberadaan Sekolah Alkitab Penyebaran Injil dan Sinode Gereja Penyebaran Injil dan seorang bernama Yonathan Nuh Tanuwidjaja (d/h Tan Djiet Hian) yang telah memenuhi panggilan Tuhan Yesus Kristus untuk melayani, melebarkan Kerajaan Allah di bumi Indonesia, berawal dari kota Majalengka.
Sekarang jika orang mendengar nama Pdt. DR. JN. Tanuwidjaja, orang tersebut akan berkata: “Oo…yang dari Majalengka itu ya?”. Tetapi sangat sedikit orang yang mengerti latar belakang panggilan Allah yang begitu luar biasa atas dirinya yang harus dibayar dengan harga yang cukup mahal. Untuk itu pada kesempatan ini penulis akan sedikit memberikan informasi tentang pribadi, keluarga, usaha (bisnis), panggilan Tuhan dan pelayanannya.
Yonatan Nuh Tanuwidjaja dilahirkan di desa Tonjong, Majalengka, pada hari Senin tanggal 13 September 1926 dan merupakan anak kedua, putra pertama dari pasangan suami istri Tan Siong Soen dengan Tjoa Tjiang Nio. Ia bertumbuh dikota Majalengka bersama-sama dengan lima saudara kandungnya, empat diantaranya adalah perempuan, semuanya lahir di Majalengka: Tan Kwee Lie Nio (Hanna), Tan Kwee Lan (Ribkah), Tan Kwee Lian (Nuh), Tan Kwee Tjiam (Suryani), dan Tan Kwat Oen (Benyamin). Mereka sekeluarga layak mendapat gelar MA (Majalengka Asli).
Tan Djiet Hian kecil sangat diperhatikan dan disayangi oleh kakak dan adik-adiknya yang mayoritas perempuan. Menurut cerita mereka, ia sejak kecil sudah punya sifat ingin lebih dari yang lain, hal ini ditunjukkan kalau ibunya membelikan kue untuk mereka bersaudara, maka ia harus mendapatkan bagian yang lebih banyak, kalau kakak dan adik-adiknya mendapat sepotong kue, maka ia akan mendapat dua. Kasih dan perhatian khususnya dari kakaknya alm. Tan Kwee Lie (Hanna) dapat dirasakan dan dilihat oleh orang-orang disekitarnya.
Tan Djiet Hian kecil juga sudah memperlihatkan kehidupan yang sederhana. Ada cerita dari seorang pengasuhnya yang bernama Mang Satori; Tan Djiet Hian kecil sulit kalau akan diganti pakaiannya, Mang Satori harus berlelah mengejarnya terlebih dahulu..Ia sejak kecil dididik oleh orang tuanya dengan disiplin cukup tinggi walaupun tidak didasari dengan pengetahuan agama tertentu, hal ini tercermin dari bagaimana ia sebagai bapak mendidik kelima putra-putrinya sehingga mereka meraih sukses dalam hidup.
Setelah Tan Djiet Hian mencapai usia sekolah, dia masuk ke HIS (Holland Inlandsche School) di Majalengka sampai tamat (kelas 7), kemudian mengikuti pendidikan di HIS, dan melanjutkan ke Sekolah Perniagaan di Bandung.
Pada usianya yang ke 24, Tan Djiet Hian dijodohkan oleh ibunya dengan seorang gadis yang bernama OEY EK LIE (Maryam Wijaya), lahir di Jamblang (Cirebon) pada hari Rabu, 31 Maret 1926. Keduanya menikah pada hari Senin, 6 Juni 1950, dari pernikahan tersebut, Tan Djiet Hian dikaruniakan lima orang anak, yaitu:
Setelah menikah, Tan Djiet Hian merintis usaha dengan membuka toko kelontong di Jl. Raya Timur 23 (sekarang Jl. Abdul Halim No.271). Sebagaimana sudah tercermin dari sifatnya semasa kanak-kanak, Tan Djiet Hian muda yang masih pengantin baru itu segera berpacu dengan waktu dan bekerja keras untuk mencapai kesuksesan dalam usahanya. Setelah melalui perjuangan yang melelahkan, pengusaha muda ini mulai menunjukkan hasil kerja kerasnya dengan dikelolanya sebuah toko kelontong yang diberi nama Toko Wijaya, dua bioskop yaitu “Taman Bintang” yang terletak di Tonjong (Majalengka bagian Timur) dan “Istana Bintang” yang berada disebelah Toko Wijaya. Sukses yang diraihnya belum memberikan kepuasan dibatin Tan Djiet Hian, dan untuk itu dia terus berusaha mengembangkan diri dengan merintis usaha angkutan bis yang diberi nama “Gaya Mekar” dengan trayek Majalengka – Rajagaluh – Cirebon.
Dengan kesuksesan tersebut, nama Tan Djiet Hian menjadi terkenal diantara tokoh pemerintahan di Kabupaten Majalengka dan dilingkungan pengusaha dan masyarakat biasa, di Majalengka, Kadipaten, Jatiwangi dan Cirebon.
Namun kesuksesan yang diraih secara jasmani tidak didampingi dengan mendalami satu agamapun, hal ini dapat dimaklumi sebab orang pasti segan menghadapi seorang pengusaha yang sukses untuk berbicara mengenai agama.
Walaupun kota Majalengka masyarakatnya adalah mayoritas beragama Islam yang cukup fanatik, tetapi oleh kasih dan karunia-NYA masuklah Injil kesana sehingga berdirilah sebuah Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) di Majalengka Kulon (Majalengka Barat). Dengan berdirinya Gereja tersebut maka banyak masyarakat Tionghoa di Majalengka yang masuk Kristen termasuk kakak dan adik-adik Tan Djiet Hian.
Sekalipun saudara-saudaranya sudah masuk Kristen bahkan anak-anaknyapun sudah ikut sekolah minggu, entah karena kekerasan hatinya atau kesibukannya, Tan Djiet Hian masih belum bergeming untuk menerima Tuhan Yesus sebagai Juru Selamatnya.
Setelah mengikuti sekolah minggu di GPdI yang pada waktu itu di gembalakan oleh Pdt. J.A.F.Rorong (sekarang Gembala GPdI Sukamandi, Jawa Barat) dan diajar oleh guru-guru Sekolah Minggu yang bertanggung jawab dan dipimpin oleh Roh Kudus, ternyata kelima putra-putri Tan Djiet Hian mengalami perubahan dan peningkatan kehidupan kerohanian yang tercermin dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini tidak terlepas dari perhatian sang ayah, yang dari hari kehari semakin tertarik dengan sikap dan gaya hidup putra-putrinya. Sadarlah sang ayah bahwa perubahan tersebut terjadi setelah kelimanya mengikuti Sekolah Minggu.
Apa gerangan yang diajarkan di Sekolah Minggu sehingga kelima putra-putrinya mengalami perubahan yang drastis? Pertanyaan ini pada suatu saat mendorong Tan Dijet Hian, dengan mengajak istrinya (Maryam Wijaya) untuk datang dan melihat kebaktian Sekolah Minggu. Setelah tiba didepan gereja, kembali hatinya bimbang dan tidak jadi masuk keruang kebaktian. Roh Kudus tetap bekerja didalam hati Tan Djit Hian, sehingga akhirnya suatu saat beliau duduk di kebaktian Sekolah Minggu dibangku paling belakang untuk mendengar dan menyimak apa yang disampaikan. Salah seorang gurunya adalah keponakannya sendiri.
Bermula dari mengikuti kebaktian Sekolah Minggu maka Tan Djiet Hian mulai aktif menjadi jemaat GPdI (hal ini terjadi sekitar tahun 1960). Tak lama kemudian Tan Djiet Hian menjadi guru Sekolah Minggu. Mungkin hal ini cukup janggal, bagi seorang pengusaha yang sudah berusia 37 tahun dan mempunyai lima orang anak mengajar di Sekolah Minggu. Tetapi inilah sebuah realita panggilan Tuhan.
Setelah itu beliau dipercayakan menjadi Ketua Sekolah Minggu GPdI Majalengka. Suatu ketika beliau diutus untuk mengikuti Seminar Sekolah Minggu di Beiji, Batu, Malang, Jawa Timur. Berhubung Seminar tersebut diselenggarakan di Sekolah Alkitab Gereja Pantekosta (SAGP), maka muncullah suatu kerinduan yang kuat untuk memperdalam Firman Tuhan di SAGP itu.
Menyadari bahwa dirinya adalah ayah dari lima orang anak dan seorang pengusaha yang harus bertanggung jawab untuk kelangsungan dan kemajuan perusahaannya, maka tidaklah mudah bagi beliau untuk segera memutuskan berangkat ke SAGP. Peperangan yang ada didalam batin ini ternyata terbaca oleh sang istri yang bijaksana dan mengasihi suaminya. Dengan penuh kasih dan pengertian sang istri mendorong dan merelakan sang suami meninggalkan kota Majalengka untuk mengikuti Sekolah Alkitab di Beji. Hal ini bukanlah tanpa pengorbanan, sebagai seorang istri, Ibu Maryam Wijaya harus mengasuh kelima putra-putrinya yang masih kecil, menunggu toko dari pagi sampai malam, setiap jam 04.00 harus mengurus pemberangkatan empat bus “Gaya Mekar” jurusan Bandung dan Cirebon, dan melakukan pekerjaan lainnya.
Pada bulan Januari 1963 berangkatlah beliau ke SAGP di Beji, Batu, Malang, Jawa Timur, pada angkatan ke IX (sembilan). Pada keberangkatan yang pertama ini beliau pergi bersama-sama adik perempuannya (Ribkah).
Selesai pada bulan Agustus tahun 1964, beliau semakin semangat melayani Tuhan, dan mendorongnya untuk masuk tingkat II pada angkatan X (sepuluh) tahun ajaran 1964. Kali ini beliau bersama adik iparnya (Henokh). Selama di Sekolah Alkitab beliau menjadi murid yang di-“tua”-kan oleh murid-murid yang lain. Banyak teman-teman sekolahnya yang suka menyampaikan segala permasalahan mereka dan mendapatkan nasehatnya. Beliau juga menjadi murid yang disayang oleh para guru, khususnya Direktur Sekolah SAGP, Pdt. M. Broadland dari Amerika Serikat.
Ternyata kehadiran penginjil Tan Djiet Hian yang baru lulus dari Sekolah Alkitab mendapat sambutan dari banyak orang. Melalui pelayanannya, mereka yang belum penuh Roh Kudus didoakan dan penuh Roh Kudus sehingga pelayanannya semakin meluas. Keadaan yang demikian itu ternyata tidak mendatangkan sejahtera dihati pemimpin gereja dimana Tan Djiet Hian berjemaat. Hal seperti itu memang wajar terjadi, sering kali seorang hamba Tuhan akan merasa terancam “lahan pelayanannya” manakala disekitarnya ada orang lain yang lebih maju pelayanannya. Menghadapai kenyataan itu Tan Djiet Hian mengambil keputusan untuk keluar dari gereja yang sudah dibangunnya (tanah dan bangunan gereja dimana dia berbakti adalah hak miliknya sampai sekarang) itu.
Setelah keluar dari GPdI, Tan Djiet Hian mendirikan sebuah yayasan yang bernama “Jajasan Penjebaran Indjil” yang didirikan pada hari_____, tanggal – -1965 Melalui Jajasan Penjebaran Indjil ini Tan Djiet Hian mengembangkan pelayanannya dengan membuka Kursus Kilat Alkitab (KKA) yang diikuti oleh peserta yang berasal dari sekitar Majalengka, Cirebon dan Sumedang; setiap angkatan berjalan sekitar satu minggu.
Tanggapan positif dari banyak pihak muncul setelah itu, diantaranya, jiwa-jiwa yang mengalami pertumbuhan iman yang sangat menyolok. Jadi kalau ada yang berkata bahwa di Gereja Penyebaran Injil dan SEAPIN tidak ada “pemuridan”, jelas itu tidak benar. Walaupun pada waktu itu belum ada istilah ini, tetapi gerak pemuridan itu sendiri sudah ada sejak sebelum GPI dan SEAPIN didirikan.
Untuk lebih memantapkan dan meningkatkan pelayanan dibidang gerejawi, maka Jajasan Penjebaran Indjil didaftarkan ke Departemen Agama RI c/q. Dirjen Bimas Kristen Protestan sebagai Geredja Penjebaran Indjil dengan nomor 165/Dd./P/II/1967, tanggal 21 Agustus 1967.
Setelah terbentuk Geredja Penjebaran Indjil, maka gerak pelayanan.Tan Djiet Hian yang sejak tanggal 2 Mei 1967 berganti nama JONATAN NUH TANUWIDJAJA (panggilan akrabnya: Oom Tan) menjadi lebih leluasa. Dimana Oom Tan memberitakan Injil, disitu berdirilah GPI, di Kadipaten, Jatiwangi, Jamblang, Arjawinangun, Babakan, Sumedang dan tempat lainnya.
Seiring dengan perkembangan GPI, maka sangat dianggap perlu dibentuknya sebuah Sekolah Alkitab untuk menghasilkan hamba-hamba Tuhan dan membuka sidang jemaat baru sebagaimana telah dilakukan oleh pendirinya (Oom Tan). Puji Tuhan! akhirnya pada tanggal 1 April 1970 berdirilah sebuah Sekolah Alkitab bernama “SEKOLAH ALKITAB PENYEBARAN INJIL (SEAPIN).
Karena sejak semula Oom Tan mengandalkan pelayanannya kepada Roh Kudus, maka sejak angkatan pertama Roh Kudus sudah bekerja dan diantara siswa/siswi dipakai Tuhan baik untuk bernubuat atau melihat penglihatan. Menurut cerita mantan siswa angkatan pertama dan kedua, suatu ketika Pdt. Suniti Jaritan Jaya sedang mengajar. Dia melihat (dalam penglihatan) ada seekor ular dan penglihatan tersebut disampaikan kepada siswa/i. Secara spontan beberapa murid naik keatas kursi dan meja, sebab mereka mengira benar-benar ada ular yang masuk ke kelas. Itulah akibat kurang paham/mengerti, seperti yang Yesus katakan: “Kamu sesat, sebab kamu tidak mengerti kitab suci maupun kuasa Allah“ (Matius 22:29).
SEAPIN berdiri dan berjalan benar-benar hanya oleh kasih Allah, tanpa mendapat bantuan dari lembaga apapun. SEAPIN selalu berjalan dengan kesederhanaan. Siswa/i pada waktu itu tidak dipungut biaya, dan seluruh pengeluaran SEAPIN seperti biaya transpor guru, anggaran belanja makan, pembangunan dan sebagainya ditanggung oleh keluarga Tanuwidjaja. Semua ini merupakan beban yang cukup berat yang harus dipikul oleh Ibu Maryam Wijaya (Tante Tan). Setelah melayani sepenuhnya, Oom Tan tidak mau tahu soal bisnisnya, angkutan umum, toko, dan bioskop.
Oleh anugerah dan kemurahan Tuhan, penulis diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan di SEAPIN pada angkatan IV tahun 1973, walaupun pada saat itu penulis terlambat hampir satu bulan. Melalui kesempatan yang Tuhan berikan tersebut penulis dapat lebih mengenal pribadi Om Tan yang tegas, keras, berdisiplin tinggi, namun penuh belas kasihan. Pada angkatan ke IV memang sudah ada sebagian siswa/siswi yang sudah dipenuhi dengan Roh Kudus dan ada satu-dua siswi yang dipakai untuk bernubuat, tetapi sebagian besar belum dipenuhi Roh Kudus, termasuk penulis.
Tidak semua guru, dan rohaniwan GPI menanggapi kegerakan pencurahan Roh Kudus ini dengan baik. Banyak yang menanggapinya dengan sinis dan menganggap itu adalah sesat, termasuk penulis sendiri. Sejak angkatan I di SEAPIN sudah diajarkan mengenai pekerjaan Roh Kudus, melalui pelajaran kitab Kisah Para Rasul, Surat Korintus. Tetapi justru guru yang mengajarkan pelajaran-pelajaran tersebut ikut menentang dan menganggap apa yang sedang terjadi di SEAPIN sesat.
Penulis dengan beberapa rekan yang pada waktu itu duduk dikelas II juga menganggap apa yang terjadi di SEAPIN pada waktu itu adalah sesat, walaupun pada waktu itu penulis dan kawan-kawan menyaksikan sendiri bukti penggenapan nubuat dan penglihatan yang Tuhan nyatakan di SEAPIN. Setiap ada tamu hamba Tuhan dari luar kota yang akan datang ke Majalengka, Tuhan sudah memberitahukan sebelumnya melalui nubuat dan penglihatan mengenai cirri-ciri dari hamba Tuhan tersebut, keadaannya dan maksud kedatangannya. Sehingga mereka tidak dapat mengelak lagi saat berhadapan dengan Om Tan.
Walaupun penulis dan kawan-kawan pada waktu itu berada ditengah-tengah kegerakan Roh Kudus, kami belum juga penuh dengan Roh Kudus. Sudah beberapa kali penulis ditumpang tangan, hingga suatu ketika Oom Tan sedang mengajar kelas I dan II (gabungan). Seorang siswa (Eddy Longkutoy) yang duduk satu bangku dengan penulis meminta tolong kepada penulis untuk menyampaikan sehelai kertas kepada Oom Tan yang berisi permohonan untuk didoakan. Sesudah pelajaran selesai dan seperti biasa kami menyembah dan berdoa, tiba-tiba penulis dipanggil maju kedepan untuk didoakan. Penulis bertanya-tanya mengapa dipanggil kedepan, bukankah Eddy Longkutoy yang minta didoakan? Dalam keadaan kebingungan itu penulis ditumpangkan tangan dan didoakan oleh Oom Tan, dan tiba-tiba penulis penuh dengan Roh kudus. Sejak itu penulis bukan hanya melihat dan mendengarkan apa yang sedang Tuhan kerjakan di Majalengka, tetapi juga mengalami, merasakan dan menikmatinya. Puji Tuhan!
Ada seorang guru, yang sangat dekat dengan Oom Tan, tetapi beliau menolak pekerjaan Roh Kudus bahkan cenderung menghujat sehingga Tuhan menjatuhkan vonis yang cukup mengejutkan. Mengenai hal ini dapat dibaca tulisan Pdt. R.B.Lakaoni, S.Th. sebab beliau yang mendengar langsung peringatan Tuhan untuk hamba Tuhan tersebut melalui nubuat/penglihatan di Majalengka, dan beliau jugalah yang menyampaikan pesan Tuhan itu ke Malang, Jawa Timur serta menyaksikan penggenapan nubuat/penglihatan itu di kota Bandung.
Pro dan kontra tentang benar tidaknya pekerjaan Roh Kudus di Majalengka terus bergulir diantara GPI di seluruh Indonesia dan gereja lain. Jika yang menentang dan mengatakan sesat itu organisasi gereja lain, hal itu biasa. Tetapi jika yang menentang itu hamba-hamba Tuhan GPI, ini sungguh luar biasa. Untuk mengakhiri pro dan kontra dikalangan GPI mengenai pekerjaan Roh ini, maka pada sekitar tahun 1975/76 Oom Tan dengan tegas membagi formulir A dan B untuk seluruh rohaniwan GPI seluruh Indonesia. Bagi mereka yang menerima pekerjaan Roh Kudus yang sedang bekerja di Majalengka harus mengisi formulir A, dan yang menolak harus mengisi formulir B, dengan kata lain mengundurkan diri dari GPI. Seiring dengan itu pekerjaan Roh Kudus mulai merambah keseluruh Indonesia dan banyak jemaat baru dibuka dan pada akhirnya GPI mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.
Di Jawa Barat (khususnya Tangerang) dan DKI. Jakarta pekerjaan Roh Kudus sangat nyata. Di Tangerang empat gereja berlainan denominasi bersatu bahkan baptisan airpun dilakukan bersama-sama. Di Jakarta puluhan persekutuan doa dibuka dan banyak jiwa dimenangkan bagi kerajaan Kristus. Puji Tuhan !!!
Dengan kegerakan Roh yang terjadi maka kebutuhan tenaga hamba Tuhan juga semakin meningkat, sehingga pernah selama beberapa tahun SEAPIN berjalan dua angkatan setiap tahunnya. Melalui apa yang Tuhan kerjakan di SEAPIN, Tuhan memberkati secara rohaniah dan jasmani. Terbukti dengan tanah seluas 3 hektar beserta dengan bangunannya yang saat ini dipakai sebagai kampus SEAPIN.
Akhir kata, marilah kita meneladani hal-hal yang baik dalam diri Oom Tan, seperti ketegasannya, kesederhana-annya, ketekunannya, kesetiaannya, pengorbanannya, semangatnya, kedisiplinannya dan sebagainya. Sedangkan kekurangan dan kelemahannya akan kita jadikan pelajaran bagi kita agar kita tidak memiliki kekurangan atau kelemahan yang sama, sehingga kita semakin bertumbuh dalam segala sesuatu kearah DIA.
Pdt. Marius Maugenest
sumber: http://gerejapenyebaraninjil.org/sejarah-gpi-dan-pendirinya/
Majalengka adalah sebuah kota kecil yang terletak di wilayah bekas Karesidenan Cirebon, Jawa Barat. Walaupun merupakan ibu kota kabupaten, Majalengka adalah sebuah kota sepi yang tidak banyak menarik perhatian orang. Penulis tahun 1973 bermaksud belajar di Sekolah Alkitab di Majalengka dan agak kesulitan sebab kota ini tidak dilalui oleh bus jurusan Solo–Bandung. Untuk mencapai kota tersebut kita harus turun di Kadipaten dan melanjutkan dengan angkutan pedesaan menuju Majalengka.
Kota Majalengka yang sepi, sunyi dan berpenduduk mayoritas (+ 99%) beragama Islam tersebut kini cukup dikenal di berbagai kota di Indonesia bahkan di beberapa negara, khususnya dilingkungan umat Kristen. Terdengar aneh mungkin, kota yang berpenduduk 99% beragama Islam yang cukup fanatik ini justru dikenal di kalangan umat Kristen. Hal itu tidak terlepas dengan keberadaan Sekolah Alkitab Penyebaran Injil dan Sinode Gereja Penyebaran Injil dan seorang bernama Yonathan Nuh Tanuwidjaja (d/h Tan Djiet Hian) yang telah memenuhi panggilan Tuhan Yesus Kristus untuk melayani, melebarkan Kerajaan Allah di bumi Indonesia, berawal dari kota Majalengka.
Sekarang jika orang mendengar nama Pdt. DR. JN. Tanuwidjaja, orang tersebut akan berkata: “Oo…yang dari Majalengka itu ya?”. Tetapi sangat sedikit orang yang mengerti latar belakang panggilan Allah yang begitu luar biasa atas dirinya yang harus dibayar dengan harga yang cukup mahal. Untuk itu pada kesempatan ini penulis akan sedikit memberikan informasi tentang pribadi, keluarga, usaha (bisnis), panggilan Tuhan dan pelayanannya.
- MASA KANAK-KANAK SAMPAI MENIKAH
Yonatan Nuh Tanuwidjaja dilahirkan di desa Tonjong, Majalengka, pada hari Senin tanggal 13 September 1926 dan merupakan anak kedua, putra pertama dari pasangan suami istri Tan Siong Soen dengan Tjoa Tjiang Nio. Ia bertumbuh dikota Majalengka bersama-sama dengan lima saudara kandungnya, empat diantaranya adalah perempuan, semuanya lahir di Majalengka: Tan Kwee Lie Nio (Hanna), Tan Kwee Lan (Ribkah), Tan Kwee Lian (Nuh), Tan Kwee Tjiam (Suryani), dan Tan Kwat Oen (Benyamin). Mereka sekeluarga layak mendapat gelar MA (Majalengka Asli).
Tan Djiet Hian kecil sangat diperhatikan dan disayangi oleh kakak dan adik-adiknya yang mayoritas perempuan. Menurut cerita mereka, ia sejak kecil sudah punya sifat ingin lebih dari yang lain, hal ini ditunjukkan kalau ibunya membelikan kue untuk mereka bersaudara, maka ia harus mendapatkan bagian yang lebih banyak, kalau kakak dan adik-adiknya mendapat sepotong kue, maka ia akan mendapat dua. Kasih dan perhatian khususnya dari kakaknya alm. Tan Kwee Lie (Hanna) dapat dirasakan dan dilihat oleh orang-orang disekitarnya.
Tan Djiet Hian kecil juga sudah memperlihatkan kehidupan yang sederhana. Ada cerita dari seorang pengasuhnya yang bernama Mang Satori; Tan Djiet Hian kecil sulit kalau akan diganti pakaiannya, Mang Satori harus berlelah mengejarnya terlebih dahulu..Ia sejak kecil dididik oleh orang tuanya dengan disiplin cukup tinggi walaupun tidak didasari dengan pengetahuan agama tertentu, hal ini tercermin dari bagaimana ia sebagai bapak mendidik kelima putra-putrinya sehingga mereka meraih sukses dalam hidup.
Setelah Tan Djiet Hian mencapai usia sekolah, dia masuk ke HIS (Holland Inlandsche School) di Majalengka sampai tamat (kelas 7), kemudian mengikuti pendidikan di HIS, dan melanjutkan ke Sekolah Perniagaan di Bandung.
Pada usianya yang ke 24, Tan Djiet Hian dijodohkan oleh ibunya dengan seorang gadis yang bernama OEY EK LIE (Maryam Wijaya), lahir di Jamblang (Cirebon) pada hari Rabu, 31 Maret 1926. Keduanya menikah pada hari Senin, 6 Juni 1950, dari pernikahan tersebut, Tan Djiet Hian dikaruniakan lima orang anak, yaitu:
- Heli Herlina (Tan Hay Lie) lahir Kamis 4 Oktober 1951, menikah dengan Meyer Siahaan Ph.D pada hari Minggu 17 Pebruari 1974; dan yang sejak 16 Januari 2002 sudah dipanggil ke rumah Bapa di surga;
- Anne Herliane (Tan Hay Lian) lahir Rabu 24 Juni 1953, menikah dengan Tonny Suprato, Selasa, 10 Juli 1973;
- Siane Nursianti, MPh. (Tan Hay Gwat), lahir Senin 7 Maret 1955, menikah dengan Bambang Suganda BA. pada hari Sabtu, 17 Agustus 1985;
- Ade Deyani (Tan Hay Dee), lahir Jum’at 22 Juni 1956, menikah dengan Ir. Hertono Abas MSc. pada hari Minggu, 22 Juni 1986;
- Daniel Dianto Tanuwidjaja, MM. (Tan Hay Liong), lahir Kamis, 31 Juli 1958 menikah dengan Ir. Sri Haryati, pada hari Jum’at, 31 Juli 1987.
- MENJADI PENGUSAHA
Setelah menikah, Tan Djiet Hian merintis usaha dengan membuka toko kelontong di Jl. Raya Timur 23 (sekarang Jl. Abdul Halim No.271). Sebagaimana sudah tercermin dari sifatnya semasa kanak-kanak, Tan Djiet Hian muda yang masih pengantin baru itu segera berpacu dengan waktu dan bekerja keras untuk mencapai kesuksesan dalam usahanya. Setelah melalui perjuangan yang melelahkan, pengusaha muda ini mulai menunjukkan hasil kerja kerasnya dengan dikelolanya sebuah toko kelontong yang diberi nama Toko Wijaya, dua bioskop yaitu “Taman Bintang” yang terletak di Tonjong (Majalengka bagian Timur) dan “Istana Bintang” yang berada disebelah Toko Wijaya. Sukses yang diraihnya belum memberikan kepuasan dibatin Tan Djiet Hian, dan untuk itu dia terus berusaha mengembangkan diri dengan merintis usaha angkutan bis yang diberi nama “Gaya Mekar” dengan trayek Majalengka – Rajagaluh – Cirebon.
Dengan kesuksesan tersebut, nama Tan Djiet Hian menjadi terkenal diantara tokoh pemerintahan di Kabupaten Majalengka dan dilingkungan pengusaha dan masyarakat biasa, di Majalengka, Kadipaten, Jatiwangi dan Cirebon.
Namun kesuksesan yang diraih secara jasmani tidak didampingi dengan mendalami satu agamapun, hal ini dapat dimaklumi sebab orang pasti segan menghadapi seorang pengusaha yang sukses untuk berbicara mengenai agama.
- PANGGILAN TUHAN
Walaupun kota Majalengka masyarakatnya adalah mayoritas beragama Islam yang cukup fanatik, tetapi oleh kasih dan karunia-NYA masuklah Injil kesana sehingga berdirilah sebuah Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) di Majalengka Kulon (Majalengka Barat). Dengan berdirinya Gereja tersebut maka banyak masyarakat Tionghoa di Majalengka yang masuk Kristen termasuk kakak dan adik-adik Tan Djiet Hian.
Sekalipun saudara-saudaranya sudah masuk Kristen bahkan anak-anaknyapun sudah ikut sekolah minggu, entah karena kekerasan hatinya atau kesibukannya, Tan Djiet Hian masih belum bergeming untuk menerima Tuhan Yesus sebagai Juru Selamatnya.
Setelah mengikuti sekolah minggu di GPdI yang pada waktu itu di gembalakan oleh Pdt. J.A.F.Rorong (sekarang Gembala GPdI Sukamandi, Jawa Barat) dan diajar oleh guru-guru Sekolah Minggu yang bertanggung jawab dan dipimpin oleh Roh Kudus, ternyata kelima putra-putri Tan Djiet Hian mengalami perubahan dan peningkatan kehidupan kerohanian yang tercermin dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini tidak terlepas dari perhatian sang ayah, yang dari hari kehari semakin tertarik dengan sikap dan gaya hidup putra-putrinya. Sadarlah sang ayah bahwa perubahan tersebut terjadi setelah kelimanya mengikuti Sekolah Minggu.
Apa gerangan yang diajarkan di Sekolah Minggu sehingga kelima putra-putrinya mengalami perubahan yang drastis? Pertanyaan ini pada suatu saat mendorong Tan Dijet Hian, dengan mengajak istrinya (Maryam Wijaya) untuk datang dan melihat kebaktian Sekolah Minggu. Setelah tiba didepan gereja, kembali hatinya bimbang dan tidak jadi masuk keruang kebaktian. Roh Kudus tetap bekerja didalam hati Tan Djit Hian, sehingga akhirnya suatu saat beliau duduk di kebaktian Sekolah Minggu dibangku paling belakang untuk mendengar dan menyimak apa yang disampaikan. Salah seorang gurunya adalah keponakannya sendiri.
Bermula dari mengikuti kebaktian Sekolah Minggu maka Tan Djiet Hian mulai aktif menjadi jemaat GPdI (hal ini terjadi sekitar tahun 1960). Tak lama kemudian Tan Djiet Hian menjadi guru Sekolah Minggu. Mungkin hal ini cukup janggal, bagi seorang pengusaha yang sudah berusia 37 tahun dan mempunyai lima orang anak mengajar di Sekolah Minggu. Tetapi inilah sebuah realita panggilan Tuhan.
Setelah itu beliau dipercayakan menjadi Ketua Sekolah Minggu GPdI Majalengka. Suatu ketika beliau diutus untuk mengikuti Seminar Sekolah Minggu di Beiji, Batu, Malang, Jawa Timur. Berhubung Seminar tersebut diselenggarakan di Sekolah Alkitab Gereja Pantekosta (SAGP), maka muncullah suatu kerinduan yang kuat untuk memperdalam Firman Tuhan di SAGP itu.
Menyadari bahwa dirinya adalah ayah dari lima orang anak dan seorang pengusaha yang harus bertanggung jawab untuk kelangsungan dan kemajuan perusahaannya, maka tidaklah mudah bagi beliau untuk segera memutuskan berangkat ke SAGP. Peperangan yang ada didalam batin ini ternyata terbaca oleh sang istri yang bijaksana dan mengasihi suaminya. Dengan penuh kasih dan pengertian sang istri mendorong dan merelakan sang suami meninggalkan kota Majalengka untuk mengikuti Sekolah Alkitab di Beji. Hal ini bukanlah tanpa pengorbanan, sebagai seorang istri, Ibu Maryam Wijaya harus mengasuh kelima putra-putrinya yang masih kecil, menunggu toko dari pagi sampai malam, setiap jam 04.00 harus mengurus pemberangkatan empat bus “Gaya Mekar” jurusan Bandung dan Cirebon, dan melakukan pekerjaan lainnya.
Pada bulan Januari 1963 berangkatlah beliau ke SAGP di Beji, Batu, Malang, Jawa Timur, pada angkatan ke IX (sembilan). Pada keberangkatan yang pertama ini beliau pergi bersama-sama adik perempuannya (Ribkah).
Selesai pada bulan Agustus tahun 1964, beliau semakin semangat melayani Tuhan, dan mendorongnya untuk masuk tingkat II pada angkatan X (sepuluh) tahun ajaran 1964. Kali ini beliau bersama adik iparnya (Henokh). Selama di Sekolah Alkitab beliau menjadi murid yang di-“tua”-kan oleh murid-murid yang lain. Banyak teman-teman sekolahnya yang suka menyampaikan segala permasalahan mereka dan mendapatkan nasehatnya. Beliau juga menjadi murid yang disayang oleh para guru, khususnya Direktur Sekolah SAGP, Pdt. M. Broadland dari Amerika Serikat.
- MENITI PELAYANAN SEPENUH
Ternyata kehadiran penginjil Tan Djiet Hian yang baru lulus dari Sekolah Alkitab mendapat sambutan dari banyak orang. Melalui pelayanannya, mereka yang belum penuh Roh Kudus didoakan dan penuh Roh Kudus sehingga pelayanannya semakin meluas. Keadaan yang demikian itu ternyata tidak mendatangkan sejahtera dihati pemimpin gereja dimana Tan Djiet Hian berjemaat. Hal seperti itu memang wajar terjadi, sering kali seorang hamba Tuhan akan merasa terancam “lahan pelayanannya” manakala disekitarnya ada orang lain yang lebih maju pelayanannya. Menghadapai kenyataan itu Tan Djiet Hian mengambil keputusan untuk keluar dari gereja yang sudah dibangunnya (tanah dan bangunan gereja dimana dia berbakti adalah hak miliknya sampai sekarang) itu.
Setelah keluar dari GPdI, Tan Djiet Hian mendirikan sebuah yayasan yang bernama “Jajasan Penjebaran Indjil” yang didirikan pada hari_____, tanggal – -1965 Melalui Jajasan Penjebaran Indjil ini Tan Djiet Hian mengembangkan pelayanannya dengan membuka Kursus Kilat Alkitab (KKA) yang diikuti oleh peserta yang berasal dari sekitar Majalengka, Cirebon dan Sumedang; setiap angkatan berjalan sekitar satu minggu.
Tanggapan positif dari banyak pihak muncul setelah itu, diantaranya, jiwa-jiwa yang mengalami pertumbuhan iman yang sangat menyolok. Jadi kalau ada yang berkata bahwa di Gereja Penyebaran Injil dan SEAPIN tidak ada “pemuridan”, jelas itu tidak benar. Walaupun pada waktu itu belum ada istilah ini, tetapi gerak pemuridan itu sendiri sudah ada sejak sebelum GPI dan SEAPIN didirikan.
Untuk lebih memantapkan dan meningkatkan pelayanan dibidang gerejawi, maka Jajasan Penjebaran Indjil didaftarkan ke Departemen Agama RI c/q. Dirjen Bimas Kristen Protestan sebagai Geredja Penjebaran Indjil dengan nomor 165/Dd./P/II/1967, tanggal 21 Agustus 1967.
Setelah terbentuk Geredja Penjebaran Indjil, maka gerak pelayanan.Tan Djiet Hian yang sejak tanggal 2 Mei 1967 berganti nama JONATAN NUH TANUWIDJAJA (panggilan akrabnya: Oom Tan) menjadi lebih leluasa. Dimana Oom Tan memberitakan Injil, disitu berdirilah GPI, di Kadipaten, Jatiwangi, Jamblang, Arjawinangun, Babakan, Sumedang dan tempat lainnya.
Seiring dengan perkembangan GPI, maka sangat dianggap perlu dibentuknya sebuah Sekolah Alkitab untuk menghasilkan hamba-hamba Tuhan dan membuka sidang jemaat baru sebagaimana telah dilakukan oleh pendirinya (Oom Tan). Puji Tuhan! akhirnya pada tanggal 1 April 1970 berdirilah sebuah Sekolah Alkitab bernama “SEKOLAH ALKITAB PENYEBARAN INJIL (SEAPIN).
Karena sejak semula Oom Tan mengandalkan pelayanannya kepada Roh Kudus, maka sejak angkatan pertama Roh Kudus sudah bekerja dan diantara siswa/siswi dipakai Tuhan baik untuk bernubuat atau melihat penglihatan. Menurut cerita mantan siswa angkatan pertama dan kedua, suatu ketika Pdt. Suniti Jaritan Jaya sedang mengajar. Dia melihat (dalam penglihatan) ada seekor ular dan penglihatan tersebut disampaikan kepada siswa/i. Secara spontan beberapa murid naik keatas kursi dan meja, sebab mereka mengira benar-benar ada ular yang masuk ke kelas. Itulah akibat kurang paham/mengerti, seperti yang Yesus katakan: “Kamu sesat, sebab kamu tidak mengerti kitab suci maupun kuasa Allah“ (Matius 22:29).
SEAPIN berdiri dan berjalan benar-benar hanya oleh kasih Allah, tanpa mendapat bantuan dari lembaga apapun. SEAPIN selalu berjalan dengan kesederhanaan. Siswa/i pada waktu itu tidak dipungut biaya, dan seluruh pengeluaran SEAPIN seperti biaya transpor guru, anggaran belanja makan, pembangunan dan sebagainya ditanggung oleh keluarga Tanuwidjaja. Semua ini merupakan beban yang cukup berat yang harus dipikul oleh Ibu Maryam Wijaya (Tante Tan). Setelah melayani sepenuhnya, Oom Tan tidak mau tahu soal bisnisnya, angkutan umum, toko, dan bioskop.
Oleh anugerah dan kemurahan Tuhan, penulis diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan di SEAPIN pada angkatan IV tahun 1973, walaupun pada saat itu penulis terlambat hampir satu bulan. Melalui kesempatan yang Tuhan berikan tersebut penulis dapat lebih mengenal pribadi Om Tan yang tegas, keras, berdisiplin tinggi, namun penuh belas kasihan. Pada angkatan ke IV memang sudah ada sebagian siswa/siswi yang sudah dipenuhi dengan Roh Kudus dan ada satu-dua siswi yang dipakai untuk bernubuat, tetapi sebagian besar belum dipenuhi Roh Kudus, termasuk penulis.
- PENGALAMAN DAN PERSPEKTIF PENULIS
Tidak semua guru, dan rohaniwan GPI menanggapi kegerakan pencurahan Roh Kudus ini dengan baik. Banyak yang menanggapinya dengan sinis dan menganggap itu adalah sesat, termasuk penulis sendiri. Sejak angkatan I di SEAPIN sudah diajarkan mengenai pekerjaan Roh Kudus, melalui pelajaran kitab Kisah Para Rasul, Surat Korintus. Tetapi justru guru yang mengajarkan pelajaran-pelajaran tersebut ikut menentang dan menganggap apa yang sedang terjadi di SEAPIN sesat.
Penulis dengan beberapa rekan yang pada waktu itu duduk dikelas II juga menganggap apa yang terjadi di SEAPIN pada waktu itu adalah sesat, walaupun pada waktu itu penulis dan kawan-kawan menyaksikan sendiri bukti penggenapan nubuat dan penglihatan yang Tuhan nyatakan di SEAPIN. Setiap ada tamu hamba Tuhan dari luar kota yang akan datang ke Majalengka, Tuhan sudah memberitahukan sebelumnya melalui nubuat dan penglihatan mengenai cirri-ciri dari hamba Tuhan tersebut, keadaannya dan maksud kedatangannya. Sehingga mereka tidak dapat mengelak lagi saat berhadapan dengan Om Tan.
Walaupun penulis dan kawan-kawan pada waktu itu berada ditengah-tengah kegerakan Roh Kudus, kami belum juga penuh dengan Roh Kudus. Sudah beberapa kali penulis ditumpang tangan, hingga suatu ketika Oom Tan sedang mengajar kelas I dan II (gabungan). Seorang siswa (Eddy Longkutoy) yang duduk satu bangku dengan penulis meminta tolong kepada penulis untuk menyampaikan sehelai kertas kepada Oom Tan yang berisi permohonan untuk didoakan. Sesudah pelajaran selesai dan seperti biasa kami menyembah dan berdoa, tiba-tiba penulis dipanggil maju kedepan untuk didoakan. Penulis bertanya-tanya mengapa dipanggil kedepan, bukankah Eddy Longkutoy yang minta didoakan? Dalam keadaan kebingungan itu penulis ditumpangkan tangan dan didoakan oleh Oom Tan, dan tiba-tiba penulis penuh dengan Roh kudus. Sejak itu penulis bukan hanya melihat dan mendengarkan apa yang sedang Tuhan kerjakan di Majalengka, tetapi juga mengalami, merasakan dan menikmatinya. Puji Tuhan!
Ada seorang guru, yang sangat dekat dengan Oom Tan, tetapi beliau menolak pekerjaan Roh Kudus bahkan cenderung menghujat sehingga Tuhan menjatuhkan vonis yang cukup mengejutkan. Mengenai hal ini dapat dibaca tulisan Pdt. R.B.Lakaoni, S.Th. sebab beliau yang mendengar langsung peringatan Tuhan untuk hamba Tuhan tersebut melalui nubuat/penglihatan di Majalengka, dan beliau jugalah yang menyampaikan pesan Tuhan itu ke Malang, Jawa Timur serta menyaksikan penggenapan nubuat/penglihatan itu di kota Bandung.
Pro dan kontra tentang benar tidaknya pekerjaan Roh Kudus di Majalengka terus bergulir diantara GPI di seluruh Indonesia dan gereja lain. Jika yang menentang dan mengatakan sesat itu organisasi gereja lain, hal itu biasa. Tetapi jika yang menentang itu hamba-hamba Tuhan GPI, ini sungguh luar biasa. Untuk mengakhiri pro dan kontra dikalangan GPI mengenai pekerjaan Roh ini, maka pada sekitar tahun 1975/76 Oom Tan dengan tegas membagi formulir A dan B untuk seluruh rohaniwan GPI seluruh Indonesia. Bagi mereka yang menerima pekerjaan Roh Kudus yang sedang bekerja di Majalengka harus mengisi formulir A, dan yang menolak harus mengisi formulir B, dengan kata lain mengundurkan diri dari GPI. Seiring dengan itu pekerjaan Roh Kudus mulai merambah keseluruh Indonesia dan banyak jemaat baru dibuka dan pada akhirnya GPI mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.
Di Jawa Barat (khususnya Tangerang) dan DKI. Jakarta pekerjaan Roh Kudus sangat nyata. Di Tangerang empat gereja berlainan denominasi bersatu bahkan baptisan airpun dilakukan bersama-sama. Di Jakarta puluhan persekutuan doa dibuka dan banyak jiwa dimenangkan bagi kerajaan Kristus. Puji Tuhan !!!
Dengan kegerakan Roh yang terjadi maka kebutuhan tenaga hamba Tuhan juga semakin meningkat, sehingga pernah selama beberapa tahun SEAPIN berjalan dua angkatan setiap tahunnya. Melalui apa yang Tuhan kerjakan di SEAPIN, Tuhan memberkati secara rohaniah dan jasmani. Terbukti dengan tanah seluas 3 hektar beserta dengan bangunannya yang saat ini dipakai sebagai kampus SEAPIN.
Akhir kata, marilah kita meneladani hal-hal yang baik dalam diri Oom Tan, seperti ketegasannya, kesederhana-annya, ketekunannya, kesetiaannya, pengorbanannya, semangatnya, kedisiplinannya dan sebagainya. Sedangkan kekurangan dan kelemahannya akan kita jadikan pelajaran bagi kita agar kita tidak memiliki kekurangan atau kelemahan yang sama, sehingga kita semakin bertumbuh dalam segala sesuatu kearah DIA.
Pdt. Marius Maugenest
sumber: http://gerejapenyebaraninjil.org/sejarah-gpi-dan-pendirinya/
Rabu, 20 Juli 2016
Selasa, 19 Juli 2016
GPI NARWASTU MURNI
TB: Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.
Senin, 18 Juli 2016
Renungan Harian
Renungan Harian
Bacaan: 2 Timotius 3:10-4:8
Bacaan Setahun: Mazmur 144-150
Nas: Beritakanlah firman... tegurlah dan
nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran. Karena akan datang
waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat... (2 Timotius
4:2-3)
Belajar Menerima Nasihat
Ketika anak kecil melakukan kesalahan, biasanya orangtua akan
menasihatinya dengan penuh kesabaran. Mereka membimbing dan mengarahkan
anak itu untuk memperbaiki diri.
Dalam hidup ini, bukan hanya anak kecil yang bisa melakukan kesalahan. Kita pun dapat melakukan kesalahan dan memerlukan nasihat orang lain untuk membimbing kita ke arah yang lebih baik. Namun, seberapa sering kita menerima nasihat itu? Dan, sudahkah kita melakukannya?
Setiap manusia pasti pernah menerima nasihat dari seseorang, terlepas dari baik atau buruk nasihat itu. Paulus juga memberikan nasihat kepada Timotius (2 Tim. 3:10-4:8). Nasihat Paulus bukan untuk menjatuhkan Timotius. Paulus hendak menguatkannya, agar tetap berdiri teguh di tengah masyarakat yang tidak taat pada Allah, menyukai pengajaran palsu dan nasihat yang buruk. Paulus memulai nasihatnya dengan membagikan pengalamannya dalam memberitakan Injil dan mengakhirinya dengan keyakinan bahwa Tuhan yang memampukan Paulus melewatinya. Paulus ingin memotivasi Timotius supaya kuat dan setia dalam pemberitaan Injil serta tetap mengandalkan Allah dalam setiap pengalaman.
Kadang kita menganggap biasa nasihat seseorang kepada kita. Kita tidak setuju ketika nasihat itu tidak seperti yang kita harapkan. Namun, Tuhan dapat menyatakan nasihat-Nya melalui orang di sekitar kita untuk menolong kita supaya tidak salah jalan. Marilah kita belajar menerima nasihat seperti seorang anak kecil yang sadar akan kekurangan dan kelemahannya. --Febrina Judith Hariandja/Renungan Harian
* * *Dalam hidup ini, bukan hanya anak kecil yang bisa melakukan kesalahan. Kita pun dapat melakukan kesalahan dan memerlukan nasihat orang lain untuk membimbing kita ke arah yang lebih baik. Namun, seberapa sering kita menerima nasihat itu? Dan, sudahkah kita melakukannya?
Setiap manusia pasti pernah menerima nasihat dari seseorang, terlepas dari baik atau buruk nasihat itu. Paulus juga memberikan nasihat kepada Timotius (2 Tim. 3:10-4:8). Nasihat Paulus bukan untuk menjatuhkan Timotius. Paulus hendak menguatkannya, agar tetap berdiri teguh di tengah masyarakat yang tidak taat pada Allah, menyukai pengajaran palsu dan nasihat yang buruk. Paulus memulai nasihatnya dengan membagikan pengalamannya dalam memberitakan Injil dan mengakhirinya dengan keyakinan bahwa Tuhan yang memampukan Paulus melewatinya. Paulus ingin memotivasi Timotius supaya kuat dan setia dalam pemberitaan Injil serta tetap mengandalkan Allah dalam setiap pengalaman.
Kadang kita menganggap biasa nasihat seseorang kepada kita. Kita tidak setuju ketika nasihat itu tidak seperti yang kita harapkan. Namun, Tuhan dapat menyatakan nasihat-Nya melalui orang di sekitar kita untuk menolong kita supaya tidak salah jalan. Marilah kita belajar menerima nasihat seperti seorang anak kecil yang sadar akan kekurangan dan kelemahannya. --Febrina Judith Hariandja/Renungan Harian
KITA MEMERLUKAN MASUKAN ORANG LAIN UNTUK MEMPERBAIKI DIRI;
KITA PERLU RENDAH HATI UNTUK MENERIMA NASIHAT MEREKA.
* * *
Langganan:
Postingan (Atom)